MENUJU
KEHIDUPAN HARMONIS DALAM MASYARAKAT YANG MAJEMUK
Suatu Pandangan
Tentang Pentingnya Pendekatan Multikultur dalam Pendidikan di Indonesia
Oleh : Dadang Sudiadi
A. Latar Belakang
Sebagai sebuah negara yang masyarakatnya majemuk, Indonesia terdiri dari
berbagai suku, ras, adat-istiadat, golongan , kelompok dan agama, dan strata
sosial. Kondisi dan situasi seperti ini merupaka suatu kewajaran sejauh
perbedaan-perbedaan ini disadari keberadaannya dan dihayati. Namun ketika
perbedaan-perbedaan tersebut mengemuka dan kemudian menjadi sebuah ancaman
untuk kerukunan hidup, maka perbedaan tersebut menjadi masalah yang harus
diselesaikan.
Beberapa peristiwa amuk massa di beberapa daerah di Indonesia, terlihat
jelas pemicunya adalah perbedaan-perbedaan tersebut, dimana salah satunya
adalah perbedaan agama. Seperti kerusuhan di lampung, tahun 1989; kerusuhan di
Timor-Timur, tahun 1985, kerusuhan di Rengasdengklok, tahun 1997; kerusuhan di
makassa, tahun 1997, Kerusuhan di Ambon, 1998, di Poso, kerusuhan Ketapang dan Kupang serta beberapa daerah lainnya.
Perubahan sosial yang
terjadi di Indonesia sekarang ini, memungkinkan sekali untuk terjadinya konflik
antar agama atau konflik
antar umat beragama. Walaupun sebenarnya secara laten konflik-konflik tersebut
telah ada jauh sebelum era reformasi berembus. Banyak sekali kejadian yang
bernuansa perbedaan agama terjadi. Seperti peristiwa pembakaran kantor Tabloid
Monitor di Jakarta, yang disangka mendiskreditkan Nabi Muhammad Saw, begitu
juga Tabloid Senang. Lain dari itu, brosur-brosur , leaflet-leaflet yang
mendiskreditkan agama tertentu, serta materi-materi dakwah yang memicu dan
memacu kemungkinan terjadinya konflik
antar agama juga kerap sekali terjadi. Banyak pemuka agama yang dengan dalih
sedang melakukan konsolidasi umat, mereka rela dan berani mendiskreditkan umat penganut agama lainnya. Terakhir isue tentang
pendidikan agama di sekolah yang mewajibkann setiap sekolah menyediakan pengajar
agama bagi siswa-siswi yang
beragama tertentu.
Konflik yang bernuansa agama berkorelasi kuat dengan faktor non agama.
Beberapa konflik yang terjadi membuktikan hal tersebut, termasuk konflik
Ketapang. Agama biasanya merupakan faktor pemicu kerusuhan, yang sebelumnya
didahului dengan konflik yang bernuansa ekonomi, seperti rebutan lahan parkir,
rebutan wilayah dan faktor lainnya yang lebih ekonomis dari pada politis.
Dengan kata lain, sebenarnya, konflik kecil acap terjadi.
Dalam melihat konflik dan potensi konflik antar kelompok, golongan dan
agama di Indonesia, perlu dipahami sebagai suatu hal yang dinamis. Perubahan
sosial dan politik yang terjadi di Indonesia yang begitu cepat, terutama
setelah era reformasi, juga turut memperkuat polarisasi konflik sosial termasuk
konflik antar kelompok umat beragama. Kesenjangan yang makin menganga antar kelompok sosial dan biasanya kelompok
sosial ini juga acap dilekatkan dengan penganut agama mayoritas.
Keterbelakangan dan pembaruan yang tidak simultan dapat memperkeruh suasana
disharmoni, serta dapat merusak tatanan sosial atau tatanan hubungan antar
kelompok sosial dan antar kelompok umat beragama.
Masyarakat Indonesia yang
multikultur, multi ras dan multi agama, memiliki potensi yang besar untuk
terjadinya konflik antar kelompok, ras, agama dan suku bangsa. Indikasi ke arah
itu terlihat dari tumbuh suburnya berbagai organisasi kemasyarakatan , profesi,
dan organisasi lainnya. Contoh seperti FPI, Laskar Jihad, FBR dan kelompok
lainnya yang berjuang dan bertindak atas nama kepentingan kelompoknya atau
kepentingan lainnya. Lain dari itu muncul juga berbagai macam aliran keagamaan.
Beragam kelompok ini secara sosial menyebabkan tumbuh dan berkembangnya
nilai-nilai baru melalui berbagai proses yang menuntut adanya
institusionalisasi kepentingan. Tapi juga dapat berupa munculnya
konflik-konflik baru, karena kelompok lain, golongan lain, agama lain, merasa
bahwa kehadiran mereka menjadi ancaman bagi tatanan masyarakat yang sudah ada
dan ajeg serta kepentingan dari kelompok lainnya. Yang berkembang adalah sikap
etnosentrisme, yang menganggap hanya kelompoknya saja, golongannya saja yang
paling baik dan sempurna, sementara yang lain jelek, salah, dan berbagai
kekurangan lainnya(Zastrow, 2000, 157);
serta stereotipe, yang mengembangkan
gambaran tentang tipe-tipe masyarakat tertentu dengan karakteristik tertentu. Misalnya orang Batak
itu kasar; orang Padang itu licik, orang Sunda itu lelet dan lain-lain.
Perbedaan-perbedaan kepentingan, pandangan, nilai akan menimbulkan
perbedaan persepsi atas sesuatu yang kemungkianan besar akan menyebabkan
munculnya reaksi berdasarkan persepsi tersebut terhadap sesuatu itu. Hal ini
dapat dan menimbulkan konflik yang mungkin akan bermuara pada kerusuhan.
Beberapa peristiwa konflik antar kelompok, golongan, ras dan agama, menunjukkan
hal-hal tersebut. Lihat saja konflik Ketapang
yang kemudian melebar ke beberapa tempat di Jakarta, Bekasi bahkan Ambon
, Kupang dan Poso.
Hal itu menunjukkan bahwa sentimen dan kepercayaan yang berlebihan
tentang keyakinan masyarakat terhadap salah satu kelompok, golongan dan atau
agama akan menimbulkan konflik, baik yang bernuansa sosil-ekonomi, politik
maupun agama. Bukti ini juga sekaligus menunjukkan bahwa potensi konflik itu ada diberbagai
bidang. Oleh karena itu perlu adanya
upaya yang simultan dilakukan agar
konflik yang potensial tersebut dikelola
secara seksama , baik oleh pemerintah daerah, masyarakat maupun aparat penegak
hukum. Yang tidak kalah pentingnya adalah peranan lembaga pendidikan dan proses
pembelajaran yang terjadi di dalamnya. Bahkan kita semua perlu bertanya ada apa
dengan sistem pendidikan kita ? Mengapa sebagaian masyarakat Indonesia mudah
sekali untuk melakukan kerusuhan ? Bagaimana model pendidikan yang dapat
menghindari terjadinya konflik sosial ?
B. Kemajemukan Indonesia dan Konflik Sosial
Sebuah masyarakat yang
majemuk didalamnya akan terkandung berbagai kelompok masyarakat yang memiliki
latar belakang adat istiadat, budaya, agama dan kepentingan . Seperti yang
disampaikan oleh Furnival bahwa masyarakat majemuk (plural societies) adalah
suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen yang hidup
sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu dengan lainnya di dalam suatu kesatuan
politik (Nasikun, 1986, hal 31). Masyarakat yang majemuk biasanya menghadapi
tantangan ketidakharmonisan dan perubahan yang terus menerus. Sedangkan menurut
Piere L. van Berghe, masyarakat majemuk memiliki sifat dasar sebagai
berikut (Nasikun, 1985, hal 67-68 dan
Nitibaskara, 2002, hal 7) :
1.
Terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok
–kelompok yang sering kali memiliki
kebudayaan, atau lebih tepat sub-kebudayaan, yang berbeda satu sama lain.
2.
Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi ke dalam
lembaga-lembaga yang bersifat non-komplementer.
3.
Di antara anggota masyarakat kurang mengembangkan
konsensus atas nilai-nilai sosial dasar.
4.
Secara reaktif sering kali terjadi konflik di antara
kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.
5.
Secara reaktif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan
(coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi
6.
Adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas
kelompok yang lain.
Melihat definisi Furnival dan karakteristik yang diajukan
oleh Berghe, telihat bahwa masyarakat Indonesia memilki karakteristik seperti
itu. Memang secara vertikal maupun horizontal, masyarakat kita masyarakat yang
paling majemuk di Dunia, selain Amerika
Serikat dan India. Kemajemukan ini menurut Nasikun (1985, hal 38-44)
terjadi karena : Keadaan geografis, dengan beribu-ribu pulau; Indonesia
terletak di antara Samudra Indonesia dan Pasifik, sangat mempengaruhi
terciptanya pluralitas agama di dalam masyarakat Indonesia; Iklim yang berbeda
dan struktur tanah yang tidak sama diantara berbagai daerah di kepulauan
Nusantara ini.
Dalam masyarakat yang majemuk, seperti Indonesia, yang
terdiri dari bebagai suku bangsa, ras, agama, kelompok dan golongan , masalah
pengintergrasian kelompok-kelompok tersebut merupakan masalah yang pelik. Oleh
karena itu diperlukan kemampuan untuk memenej konflik tersebut, supaya dapat
menghasilkan perubahan sosial ke arah yang lebih baik dan tidak destruktif.
Konflik dapat terjadi melalui beberapa fase. Fase-fase terjadinya konflik kekerasan adalah sebagai
berikut (Nitibaskara, 2002, hal 50-53) :
Fase pertama, tahap pendahuluan. Pada fase ini,
faktor struktural telah menjadi lahan subur yang kondusif untuk meledaknya
konflik kekerasan antar-etnis. Hanya seidikit orang yang memahami secara sadar
keadaan yang berkembang …Jika tahap ini gagal ditanggulangi maka realitas
sosial memasuki fase kedua . Tahap kedua adalah tahap titik didih. Pada tahap
ini, faktor struktural penyebab konflik kekerasan telah benar-benar kondusif
bagi meledaknya konfrontasi terbuka antar-etnis
yang saling memendam rasa permusuhan. Tindakan saling melecehkan
simbol-simbol etnis semakin lebih terbuka. Budaya mulai sering dieksploitasi perbedaannya…
Bilamana tahap kedua tersebut gagal diturunkan tensinya, maka akan menginjak
babak berikutnya, yakni konflik kekerasan anatar-etnis secara terbuka… Akhirnya sampai ke tahap atau faase keempat, yaitu tahap peredaan konflik, pada tahap ini setiap
hal yang mengarah kepada timbulnya konflik baru harus segera ditangkal sedini
mungkin…
Mencermati apa yang telah diuraikan tentang fase-fase konflik
terlihat bahwa pada setiap fase
dimungkinkan untuk terjadinya peneyelesaian konflik. Gambaran tentang fase ini
juga menunjukkan bahwa konflik etnis
mungkin akan dapat berhenti dengan sendirinya tanpa harus melalui keempat fase
tersebut. Yang penting dari itu semua
adalah bagaimana mencegah konflik sosial baik yang berlatar belakang agama,
etnis, politik maupun ekonomi. Cara yang
bisa dilakukan adalah dengan memenej konflik atau potensi konflik. Salah satu
bentuk manajemen konflik yang dapat dilakukan adalah melalui proses
pembelajaran di lembaga pendidikan (sekolah).
Dalam hal ini terlihat
bahwa terdapat beban yang sangat berat
bagi pendidikan kita terutama pendidikan moral atau proses sosialisasi tentang
keberagamaan dan makna dari keberagaman tersebut bagi kehidupan. Oleh karena
itu sudah seharusnya kita mulai memikirkan pendidikan multikultur yang mengembangkan konsep toleransi, saling
menghargai, saling menghormati dan saling menyadari tentang sebuah perbedaan.
Para pendidik harus bekerja keras untuk melakukan reorientasi pembelajaran
agama kepada para peseta didik dengan tetap mensosialisasikan nilai-nilai dan
norma agama dari masing-masing agama yang diajarkan tetapi dengan mengembangkan
konsep multiculturalism education /learning. Karena dengan begitu mekanisme
manajemen konflik akan bisa dilaksanakan. Tentunya dengan didukung kebijakan
pemerintah tentang pendidikan moral,
agama dan sosial.
C.
Antara Pendidikan Multikultural dan Pendidikan
Berbasis Masyarakat
Undang-undang Pendidikan
Nasional menyuratkan tentang pendidikan berbasis masyarakat (Community Based
Education, lihat Soedijarto, 2000, hal 77) yang didalamnya disebutkan bahwa
Pendidikan Berbasis Masyarakat adalah :
Penyelenggaraan
pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi dan potensi
masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan untuk masyarakat.
Lebih lanjut dalam Bagian
Kedua Pasal 55 tentang pendidikan berbasis masyarakat diuraikan :
(1)
Masyarakat berhak meneyelenggarakan pendidikan berbasis
masyarakat pada pendidikan formal dan nonformal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya
untuk kepentingan masyarakat.
(2)
Penyelenggara pendididkan berbasis masyarakat
mengembangkan dan melaksanakan kurikulum
dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standar
nasional pendidikan
(3)
Dana penyelenggaraan pendidikan berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat,
Pemerintah, Pemerintah Paerah dan/atau sumber lain yang tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4)
Lembaga pendidikan berbasis masyarakat dapat memperoleh
bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari Pemerintah dan/atau pemerintah Daerah
(5)
Ketentuan mengenai peran serta masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.
Dari ketentuan yang
tersurat dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional terlihat bahwa pendidikan berbasis masyarakat ditujukan untuk
memperoleh output pendidikan yang dapat
berperan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Namun penulis kuatir, keberadaan
dari pendidikan berbasis masyarakat ini
justru akan menajamkan friksi
kemajemukan masyarakat bangsa Indonesia, karena dengan penyelenggaraan
pendidikan yang diselenggarakan
berdasarkan karakteristik wilayah, sosial dan budaya masayarakat Indonesia maka
ego kedaerahan akan semakin tinggi dan
ini sangat berbahaya.
Namun bila pendidikan
berbasis masyarakat tersebut ditujukan untuk menyelesaikan masalah krisis
ekonomi di Indonesia yang kemudian mempengaruhi kemampuan negara untuk
menyediakan dana pendidikan, hal ini dapat diterima. Tetapi bila model
penddidikan ini akan terus dikembangkan, saya yakin akan terus dikembangkan
sebab terligitimasi dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003. Maka yang perlu
diantisipasi adalah kemungkinann
adanya keberagaman dalam mutu
pendidikan, yang disatu sisi hal ini akan mendukung otonomi daerah dan juga
otonomi pendidikan, tetapi di sisi lain memiliki kemungkinan yang besar dalam
mengancam intergrasi nasional serta mempengaruhi keberhasilan dari pembangunan
karakter manusia Indonesia.
Lain dari itu terlihat juga
adanya kemungkinan negara, melepas tanggung jawab dalam pembiayaan
penyelenggaraan pendidikan
dimasing-masing wilayah penyelenggara, hal ini akan sangat bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945, perubahan
keempat tentang diharuskannya negara menyediakan dana pendidikan
sekuarang-kurangnya sebesar 20 % dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBN dan APBD). Seperti
terlihat pada penyempurnaan pasal 31 dann 32, yang natara lain (Soedijarto,
2003, hal 2):
“mewajibkan pemerintah untuk membiayai sepenuhnya pendidikan wajib belajar (0asal 31 ayat (2))”, “mewajibkan negara menyediakan
anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD (pasal 31 ayat
(4)).”
Dugaan itu ternyata memang
tidak salah, sebab tujuan utama dari penyelenggaraan pendidikan berbasis
masyarakat adalah untuk mengatasi dampak
krisis ekonomi terhadap pendidikan (Soedijarto,
ibid, hal 77)
Sementara pendidikan multi-kultural tersurat dalam beberapa pasal Undang-Undang
Sisdiknas, antara lain pasal 3 yang menyatakan bahwa :
“pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulai, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.”
Kalimat menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab menunjukkan adanya
tekad untuk melaksanakan pendidikan multikultur. Lebih lanjut dalam pasal 4
Undang-undang ini diuraikan bahwa :
(1)
Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan
berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia, nilai keagamaan, nilai kultural dan kemajemukan bangsa.
(2)
Pendidikan diselenggarakan sebgai suatu kesatuan yang
sitemik dengan sistem terbuka dan multimakna.
Kedua ayat dalam pasal
empat tersebut menyuratkan dan menyiratkan tentang pentingnya pendidikan
multikultur dalam rangka mendukung proses demokratisasi dan dalam rangka
terciptanya integrasi nasional.
Apa itu pendidikan
multikultural (multicultural education) ? Ada banyak pengertian tentang ini,
diantaranya adalah :
1.
Multicultural education is a process through which
individuals’ development ways of perceiving, evaluation in behaving within
cultural systems, are different from their own (Gibson 1984, in Hernadez, 2001
in Semiawan 2003, pp 6)
2.
we may define multicultural education as the process
whereby a person “develops competencies in multiple systems of standards for
perceiving, evaluating, believeing and doing “(Saifuddin based on Goodenough
definition, 2003, pp. 4)
3.
Muticultural education is a progresseve approach for
transforming education that holistically critiques and addresses current
shortcomings, failings, and discriminatory practices in education. It is
grounded in ideals of social justice, education equity, and a dedication to
facilitating educational experiences in which all students reach their full
potential as learners and as socially aware and active beings, locally,
nationall, and globally. Multicutural education acknowledges that schools are
essensial to laying the foundation foor transformation of society and the
elimination off oppression and justice.(Budianta, 2003, pp. 8)
4.
Multicultural education as ‘a philosophy, a methodology
for educational reform” or “just a set of teaching materials with pedagogical
program.” (Gay dalam Budianta, 2003, hal 8)
Dari beberapa definisi
tentang multicultural education terlihat bahwa
multi cultural education sangat
relevan dilaksanakan dalam mendukung proses demokratisasi, dimana adanya pengakuan
hak asasi manusia, tidak adanya
diskriminasi dan diupayakannya keadilan
sosial. Disamping itu dengan pendidikan multikultural ini dimungkinkan seseorang
dapat hidup dengan tenang di lingkungan kebudayaan yang berbeda dengan
yang dimilikinya.
Seperti telah diuraikan di
muka bahwa masyarakat kita ini masyarakat majemuk dan bahkan paling majemuk di
dunia. Karena itu agar kemajemukan ini tidak berkembang menjadi ancaman
disintegrasi harus diupayakan untuk dikelola. Bagaimaana pengelolaannya ?
Pendidikan salah satu jawaban
utamanya. Proses pembelajaran tentang
manusia Indonesia harus merupakan mata pelajaran wajib di seluruh
tingkatan jenjang pendidikan. Guru,
kurikulum, sarana- prasarana, gbpp dan berbagai hal yang diperlukan untuk suatu
proses pembelajaran yang mendukung multikulturalisme harus disediakan oleh
negara. Mengapa negara ? Negara adalah otoritas tertinggi dalam penyelenggaraan
pendidikan. Untuk membentuk manusia
Indonesia yang bercirikan ke-Indonesiaan diperlukan adanya penyeragaman dalam
beberapa mata pelajaran yang bersifat umum seperti Bahasa Indonesia,
Sosia-Budaya Indonesia, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn),
Perbandingan Agama. Mata pelajaran ini adalah mata pelajaran yang mutlak harus
diberikan untuk membentuk karakter manusia Indonesia. Selain tentunya mata
pelajaran olah raga dan kesenian. Selama ini proses pembelajaran lebih
cenderung mengupayakan penyeragaman, dan kurang memperhatikan keragaman
masyarakat bangsa Indonesia.
Berbeda dengan pendidikan
berbasis masyarakat, dimana model
seperti ini akan lebih banyak menimbulkan friksi-friksi dalam masyarakat karena yang ditonjolkan justru ciri
kedaerahan yang justru berbeda dengan
daerah lainnya. Model ini juga akan banyak menimbulkan masalah ketika kita
membicarakan standar kualitas. Walaupun disebutkan bahwa standar kualitas yang
digunakan adalah standar nasional, tetapi
dengan kemungkinan penyelenggaran evaluasi sendiri dan penentuan
kurikulum sendiri serta sarana dan
prasanan pembelajaran sendiri dan
kesejahteraan guru juga sendiri, maka penulis sangat kuatir bahwa pendidikan
model ini justru akan semakin mempersulit terwujudnya
integrasi nasional dan sekaligus akan mempersulit terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya, dengan
karakteristik Indonesia yang berbudaya Indonesia dan hidup dalam sistem sosial
dan politik Indonesia. Ini tantangan
bagi dunia pendidikan dimana pendidikan
dihadapkan pada konteks desentralisasi dan integrasi nasional, yang menuntut
pemikiran yang cermat dalam menentukan strategi pendidikan sebagai upaya untuk
membangun karakter bangsa yang diwarnai dengan kemajemukan.
D.
Empat Pilar
Pendidikan dan Masalah Kemajemukan
Dalam
buku laporannya ke UNESCO, Jacques Delors, et. al., (1996, hl. 85-97)
mengemukkan bahwa ada empat buat sendi/pilar pendidikan, yaitu :
1.
Learning to know
(belajar untuk mengetahui)
2.
Learning to do
(belajar untuk berbuat)
3.
Learning to live
togather, learning to live with others (belajar untuk hidup bersama)
4.
Learning to be (
belajar untuk menjadi seseorang)
Dalam Pointers and Recommendations,
Delors et.al.(hal. 97) mengemukakan
bahwa :
Learning
to know, dengan memadukan pengetahuan umum yang cukup luas dengan keseempatan untuk mempelajari secara mendalam
pada sejumlkah kecil mata pelajaran. Pilar ini juga berarti juga learning to
learn (belajar untuk belajar), sehingga memperoleh keuntungan dari
kesempatan-kesempatan pendidikan yang disediakan sepanjang hayat.
Learning to do, untuk memperoleh bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi
juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan
bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda
dalam berbagai kegiatan sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal,
sebagai akibat konteks lokal atau nasional, atau bersifat formal melibatkan
kursus-kursus, program bergantian antara
belajar dan bekerja.
Learning to live together, learning to live
with others , dengan jalan mengembangkan pengertian akan orang lain dan apresiasi atas
interdependensi—melaksanakan proyek-proyek bersama dan belajar memenej
konflik—dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan
perdamaian.
Learning to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian lebih baik dan
mampu bertindak mandiri,
membuat pertimbangan dan rasa tanggung
jawab pribadi yang semakin besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan
fisik, dan keterampilan berkomunikasi.
Dari keempat pilar
pendidikan di atas terlihat bahwa pilar learning to live toggether, learning to
live with others, dalam konteks kemajemukan merupakan suatu pilar yang sangat penting. Pilar ini sekaligus juga
menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang berupaya untuk
mengkondisikan supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk bersikap toleran
terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang lain dan
sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggunga jawab terhadap dirinya serta
orang lain. Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak hanya
pada learning to know, lerning to do dan leraning to be, tetapi juga diarahkan
ke learning to live together, masalah
kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan manajemen konflik dan dengan
demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya kebudayaan nasional yang tidak
melupakan kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasuonal dengan tidak melupakan
bahasa daerah, tumbuhnya sistem politik
nasional dengan tanpa mengabaikan sistem politik daerah, (pemerintahan daerah).
Secara umum akan tumbuh dan berkembang Sistem Sosial Indonesia, yang berbeda
dari Sistem Sosial Amerika, Sistem Sosial Jepang, Sistem Sosial negara-negara
lainnya. It is Indonesia so we are Indonesians. Go for it !!!.
E. Catatan Penutup
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa catatan penutup :
- Kemajemukan harus dipandang sebagai suatu anugrah untuk pencapaian kualitas hidup masyarakat Bangsa indonesia
- Bahwa Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional telah mengakomodir pendidikan multikulur untuk mencapai keharmonisan dalam kemajemukan serta untuk mencapai kehidupan Indonesia yang demokratis.
- Bahwa ada dilema antara penyelenggaraan model pendidikan berbasis masyarakat dengan pendidika multikultural, dimana tujuan awal dari keduanya berbeda. Namun begitu untuk mengoptimalkan potensi daerah terutama dalam hal pembiayaan penyelenggaraan pendidikan , sesuai dengan konteks otonomi daerah, pendidikan berbasis masyarakat perlu dipikirkan formatnya, supaya penyelenggaraannya tidak semata-mata untuk menyelesaikan kekurangan dana dari negara, tetapi untuk mendukung terlaksananya pendidikan multikultur yang ditujukan agar tercapai kehidupan Indonesia yang harmonis dan berkualitas dengan karakter Indonesia.
- Dalam konteks penyelenggaraan pendidikan multikultural, diperlukan perubahan paradigma pendidikan, dan karenanya diperlukan peningkatan kompetensi pendidik untuk mewujudkannya, reformasi kurikulum yang mengarah pada pengakuan dan pengejawantahan kemajemukan masyarakat, serta penyusunan kembali teks books.
- Pendidikan adalah investasi oleh karena itu, penyediaan dana yang cukup, paling tidak sesuai dengan ketentuaan dalam Undang-undang Dasar 1945 penyempurnaan yang keempat, yaitu sekurang-kurangnya 20 % dari APBN dan APBD, dapat segera terwujud. Tentunya dengan catatan dana tersebut tidak digerogoti oleh para koruptor yang bekerja di bidang pendidikan.
- Kita ini orang Indonesia, maka pendidikan kita juga harus pendidikan yang sesuai dengan kepentingan Indonesia, tertutama kepentingan untuk mewujudkan karater Indonesia dengan kemajemukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Delors, Jacques, et.al., Learning : The Treasure Within,
Report to UNESCO of the International Commissions on Education for the
Twenty-fisrt Century, France: UNESCO Publishing, 1996.
Nasikun, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta : Rajawali, C.V.,
1984.
Nitibaskara, Tubagus Ronny Rahman, Paradoks Konflik dan Otonomi Daerah:
Sketsa Bayang-bayang Konflik Dalam Prospek Maasa depan Otonomi Daerah,
Jakarta: Peradaban, 2002.
McNeil, John D., Curriculum: A Comprehensive Introduction,
Boston/Toronto: Little Brown and Company, 1977.
Soedijarto, Pendidikan Nasional sebagai wahana Mencerdaskan
Kehidupan Bangsa dan Membangun Peradaban Negara-Bangsa, CINAPS, 2000
Suyanto dan Djihad Hisyam, Refleksi dan Reformasi: Pendidikan di
Indonesia memasuki Milenium III, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000.
Zastrow, Charles, Social Problems: Issues and Solution,
Australia/Canada/Denmark/Japan/Mexico/New Zealand/Philipines/Puerto
Rico/Singapore/Spain/United Kingdom/United States: Wadsworth, 2000.
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Makalah:
Azra, Azyumardi, “From Civic Education to Multicultural Education:
With Reference to the Indonesian Experience,” Paper presented at Workshop”
Multicultural Education in Southeast Asian Nations : Sharing Experience,
Univensity of Indonesia, Depok 17-19 June 2003.
Buadianta, Melani, “ Multiculturalism: In Search of a Framework For
Managing Diversity in Indonesia,” Paper presented at Workshop Multicultural
Education in Southeast Asian Nations : Sharing Experience, Univensity of
Indonesia, Depok 17-19 June 2003.
Saifuddin, Achmad Fedyani, “Multicultural Education: Putting School
First (A Lesson from the Education Autonomy Policy Implementation in
Indonesia),” Paper presented at Workshop” Multicultural Education in Southeast
Asian Nations : Sharing Experience, Univensity of Indonesia, Depok 17-19 June
2003.
Semiawan, Conny, “Toward Multicultural Education,” Paper presented at
Workshop” Multicultural Education in Southeast Asian Nations : Sharing
Experience, Univensity of Indonesia, Depok 17-19 June 2003.
Soedijarto, “Pendidikan Nasional Untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa
dan Mmemajukan Kebudayaan Nasional Melalui Sekolah Sebagain Pusat Pembudayaan,”
Disajikan dalam Pra Kongres Kebudayaan V Th. 2003, di Denpasar, Bali, April
2003.
RIWAYA HIDUP PENULIS
Dadang Sudiadi lahir di
Ciamis pada tanggal 16 Juni 1966,
sekarang beralamat di Jl. Jend. Sudirman Rt 03/I No. 9 Bekasi, telp. 021
88960627. Pendidikan SD ditempuh di SDN Kertajaga-Ciamis lulus tahun 1979, SLTP
di SMPN Rancah-Ciamis, lulus tahun 1982, SLTA di SMAN Ciamis, lulus tahun 1985
kemudian melanjutkan studi ke Jusan Kriminologi FISIP Universitas
Indonesia dan mencapai gelar S1 pada
tahun 1992. Pada tahun tahun 2001
berhasil meraih gelar MSi dari PPs UI Progran studi Sosiologi kekhususan Kriminologi. Mulai tahun 2003 tercatat
sebagai peserta Program Doktor di PPs UNJ Program Studi Manajemen Pendidkan.
Sekarang bekerja sebagai
Staf pengajar di Departemen Kriminologi FISIP-UI, sekaligus menjabat sebagai
Ketua Program Sarjana Reguler Departemen Kriminologi FISIP-UI, sebelumnya
pernah menjabat sebagai Koordinator Jurusan Kriminologi Program Ekstensi
FISIP-UI dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Jurusan Kriminologi FISIP-UI,
dari tahun 1994 – 1997. Pernah juga menjadi guru di MTs Al Huda Al Islamiyah
Bekasi, hingga tahun 1993.
0 komentar:
Post a Comment